Jo podo nelongso
Zamane…zaman rekoso
Urip pancen angel…
Kudune usah …..
Begitulah beliau, bapak kami tercinta dan suami dari ibu kami yang paling kami sayangi, Udin Ghozally. Tak pernah sedikit pun suara siulan ataupun nyanyian lepas dari bibirnya. Tembang Jawa di atas seringkali menemani kami saat makan malam. Makanan sederhana menjadi istimewa dibuatnya. Dengan gaya bak penari piring (tangannya bergerak-gerak menarikan piring yang dipegangnya), beliau berlenggak-lenggok di depan kami.
Ya…betapa saat-saat indah itu tak akan pernah hilang dari ingatan kami. Saat hujan turun, ketika semua anak tetangga dengan riang gembira bermain di bawah talang-talang air, kami berkumpul di ruang tamu. Kehangatan begitu terasa saat bapak membuat tebak-tebakan.
“Ayo….siapa yang bias nebak! Warna bulunya indah, bisa mekar dan dilindungi. Burung apakah itu?”
Kami anak-anaknya berusaha keras menebak. Ketika tak ada yang bias menebak, bapakpun berkata,”Ayo…huruf awalnya M, huruf akhirnya K….lima huruf,,,,” Kami pun saling unjung tangan. Tanpa ada yang mengomando serempak kami menjawab…..” Burung Merak!” Kami pun tertawa bersama sampai tak sadar hujan telah berhenti.
Harmonika! Ya…masih ingat dalam ingatan dan pikiran kami. Bapak pandai memainkan alat musik yang satu itu. Dari mulai lagu anak gembala hingga lagi-lagunya Koes Plus sampai lagu perjuangan bahkan lagu-lagu Jepang tempo dulu sempat kami dengar. Ya…irama lagu yang dimainkan lewat alat musik tiup itu dijadikan pula tebak-tebakan.”Tebak judul lagu!” begitu kami menyebutnya.
Saat malam tiba, menjelang tidur menjadi malam yang selalu dinanti. Bapak tak pernah lelah mendongeng. Si Sandul (cerita rakyat Jawa yang menceritakan keprihatinan seorang anak hingga berhasil hidupnya), Si Kancil Mencuri Timun atau Si Kancil dan Buaya bagi kami adalah dongeng-dongeng indah yang mengasyikan meskipun selalu diulang pada malam-malam berikutnya. Tidak hanya kami, anak-anaknya yang mendengar dongeng itu. Cucu-cucunya yang sekarang sudah beranjak dewasa sempat pula merasakan hangatnya malam saat dinina bobokan oleh kisah-kisah yang membuat kami tertidur pulas.
Udin Ghozally, lahir di sebuah desa yang asri akan panorama pemandangannya. Hijau dengan bentangan sawah, ramah dengan senyum penduduknya dan sejuk dengan udara dan aliran sungainya.
Wanayasa, Banjarsari menjadi tempat kelahirannya. Tepatnya 4 mei 1938. Hari Minggu Pahing menjadi saat bersejarah bagi pasangan H. Ghozally dan Hj. Nafsiyah. Itulah kali pertama mereka mendapatkan anugerah terindah dari sang Khalik.
Anak pertama dari tiga bersaudara ini kemudian tumbuh menjadi lelaki yang bijak bagi kami yang ditinggalkan. Lahir dari pasangan orang tua yang menidik anaknya dalam gaya Jawa ortodok menjadikan laki-laki ini tampil kharismatik, terkesan tidak banyak bicara walau pada dasarnya mempunyai sense of humor yang tinggi.
Perjodohan membuatnya dipertemukan dengan seorang wanita cantik sederhana dari tetangga desanya. Nafsiyah, begitu nama wanita itu (nama yang sama dengan nama sang ibu). Terjalinlah ikatan kasih di antara mereka. Cinta mereka berkembang hingga lahirlah kami anak-anaknya.
Kini, semua memang telah berubah. Kami telah tumbuh dewasa, suara harmonika tak lagi terdengar, tebakan tak lagi ada. Ya…sejak saat beliau sakit semuanya berubah. Tapi tidak dengan kalimat-kalimat bijaknya. Selalu ada dalam setiap langkah kami, selalu terdengar setiap saat. Sampai kini pun kalimat-kalimat bijaknya menjadi penyemangat kami dalam meraih hidup menyongsong hari di tengah pekik beragam cobaan. Ajaran dan perinsif-perinsif hidupnya adalah warisan yang tak ternilai harganya. Beliaulah guru kehidupan pertama kami. Beliaulah yang mengajarkan kami untuk lebih mengerti makna hidup dan makna cinta. Beliau pula yang memberikan kami pembelajaran batin. Lewat beliau pula kami tahu makna kekuatan yang ada dalam diri. Ya…beliaulah guru bagi kehidupan kami.
Sederhana menjalani hidup, rendah hati, kuat dalam pendirian dan tetap berpegang teguh pada ajaran agama dengan tidak memandang sebelah mata pada siapa pun adalah teori kehidupannya. Membaca sampai larut malam, nonton bola dan tinju hingga nonton film koboi, dan menikmati getuk lindri adalah hobinya. Apa pun yang kami tanyakan tak pernah tak terjawabklan. Di sela kesibukannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (Perumka), beliau selalu menyempatkan diri mengajarkan kami beragam hal.
Banjar, di rumah cinta kami yang sederhana dengan taman bunganya, dengan kolam ikannya, adalah saksi bisu atas cinta kasih dan kehangatan yang telah kami terima dari belaian seorang lelaki yang tak pernah lelah berusaha memberikan yang terbaik bagi kami yang ditinggalkan.
Ya…Allah, tanpa terasa lama sudah kami ditinggalkan.
Menjelang malam, 22.47 hari Sabtu tanggal 19 Desember 2005 lelaki yang paling kami cintai menghembuskan nafasnya terakhir. Dengan iringan doa dari kami, beliau pergi dalam tenang. Senyum tersungging di bibirnya.
YA…Allah, ada tangis saat itu. Ada duka yang mendalam saat melepas kepergiannya. Ya, Engkau telah mengambilnya kembali. Kami ikhlas, seikhlas beliau memberikan kasih sayang dan cintany pada kami. Kami ikhlas seikhlas beliau menerima penyakit yang telah dideritanya selama beberapa tahun.
Ya…Allah, tak ada kata yang bisa kami ucapkan, hanya doa yang kami panjatkan atas kepergiannya. Tuhan telah memberikan yang terbaik untuk setiap umatnya. Begitu pula untuk bapak kami tercinta, yang kini telah terbebas dari derita diabetesnya.
Di tanah kelahirannya, di bawah langit biru dengan desah-desah dedaunan yang tertiup angin, di tepian sungai, di sanalah kini bapak kami tercinta “tertidur untuk selamanya.”
Saat beliau dikebumikan seolah alam memberikan keteduhan kepada kami yang mengantarnya. Hujan deras yang turun seketika reda.
Terimakasih ya Allah telah Engkau berikan lelaki terbaik bagi kami.
Terimakasih ya Allah!
Meski kepergiannya adalah kedukaan
Tapi kebahagiaan yang tak ternilai bagi kami telah kami miliki.
Ya…bapak kami adalah seorang lelaki yang tabah dan kuat dalam mengarungi hidup.
Kini semua tinggal kenangan. Rumah tua tempat kami menerima kehangatan cinta itu menjadi legenda dan bukti akan kekuatan cinta yang telah beliau berikan.
Selamat jalan Bapak! Ada doa dari kami!
Semoga Allah mengampuni segala dosanya.
Semoga diterima segala amal ibadahnya.
Amin…Amin….Amin..
Zamane…zaman rekoso
Urip pancen angel…
Kudune usah …..
Begitulah beliau, bapak kami tercinta dan suami dari ibu kami yang paling kami sayangi, Udin Ghozally. Tak pernah sedikit pun suara siulan ataupun nyanyian lepas dari bibirnya. Tembang Jawa di atas seringkali menemani kami saat makan malam. Makanan sederhana menjadi istimewa dibuatnya. Dengan gaya bak penari piring (tangannya bergerak-gerak menarikan piring yang dipegangnya), beliau berlenggak-lenggok di depan kami.
Ya…betapa saat-saat indah itu tak akan pernah hilang dari ingatan kami. Saat hujan turun, ketika semua anak tetangga dengan riang gembira bermain di bawah talang-talang air, kami berkumpul di ruang tamu. Kehangatan begitu terasa saat bapak membuat tebak-tebakan.
“Ayo….siapa yang bias nebak! Warna bulunya indah, bisa mekar dan dilindungi. Burung apakah itu?”
Kami anak-anaknya berusaha keras menebak. Ketika tak ada yang bias menebak, bapakpun berkata,”Ayo…huruf awalnya M, huruf akhirnya K….lima huruf,,,,” Kami pun saling unjung tangan. Tanpa ada yang mengomando serempak kami menjawab…..” Burung Merak!” Kami pun tertawa bersama sampai tak sadar hujan telah berhenti.
Harmonika! Ya…masih ingat dalam ingatan dan pikiran kami. Bapak pandai memainkan alat musik yang satu itu. Dari mulai lagu anak gembala hingga lagi-lagunya Koes Plus sampai lagu perjuangan bahkan lagu-lagu Jepang tempo dulu sempat kami dengar. Ya…irama lagu yang dimainkan lewat alat musik tiup itu dijadikan pula tebak-tebakan.”Tebak judul lagu!” begitu kami menyebutnya.
Saat malam tiba, menjelang tidur menjadi malam yang selalu dinanti. Bapak tak pernah lelah mendongeng. Si Sandul (cerita rakyat Jawa yang menceritakan keprihatinan seorang anak hingga berhasil hidupnya), Si Kancil Mencuri Timun atau Si Kancil dan Buaya bagi kami adalah dongeng-dongeng indah yang mengasyikan meskipun selalu diulang pada malam-malam berikutnya. Tidak hanya kami, anak-anaknya yang mendengar dongeng itu. Cucu-cucunya yang sekarang sudah beranjak dewasa sempat pula merasakan hangatnya malam saat dinina bobokan oleh kisah-kisah yang membuat kami tertidur pulas.
Udin Ghozally, lahir di sebuah desa yang asri akan panorama pemandangannya. Hijau dengan bentangan sawah, ramah dengan senyum penduduknya dan sejuk dengan udara dan aliran sungainya.
Wanayasa, Banjarsari menjadi tempat kelahirannya. Tepatnya 4 mei 1938. Hari Minggu Pahing menjadi saat bersejarah bagi pasangan H. Ghozally dan Hj. Nafsiyah. Itulah kali pertama mereka mendapatkan anugerah terindah dari sang Khalik.
Anak pertama dari tiga bersaudara ini kemudian tumbuh menjadi lelaki yang bijak bagi kami yang ditinggalkan. Lahir dari pasangan orang tua yang menidik anaknya dalam gaya Jawa ortodok menjadikan laki-laki ini tampil kharismatik, terkesan tidak banyak bicara walau pada dasarnya mempunyai sense of humor yang tinggi.
Perjodohan membuatnya dipertemukan dengan seorang wanita cantik sederhana dari tetangga desanya. Nafsiyah, begitu nama wanita itu (nama yang sama dengan nama sang ibu). Terjalinlah ikatan kasih di antara mereka. Cinta mereka berkembang hingga lahirlah kami anak-anaknya.
Kini, semua memang telah berubah. Kami telah tumbuh dewasa, suara harmonika tak lagi terdengar, tebakan tak lagi ada. Ya…sejak saat beliau sakit semuanya berubah. Tapi tidak dengan kalimat-kalimat bijaknya. Selalu ada dalam setiap langkah kami, selalu terdengar setiap saat. Sampai kini pun kalimat-kalimat bijaknya menjadi penyemangat kami dalam meraih hidup menyongsong hari di tengah pekik beragam cobaan. Ajaran dan perinsif-perinsif hidupnya adalah warisan yang tak ternilai harganya. Beliaulah guru kehidupan pertama kami. Beliaulah yang mengajarkan kami untuk lebih mengerti makna hidup dan makna cinta. Beliau pula yang memberikan kami pembelajaran batin. Lewat beliau pula kami tahu makna kekuatan yang ada dalam diri. Ya…beliaulah guru bagi kehidupan kami.
Sederhana menjalani hidup, rendah hati, kuat dalam pendirian dan tetap berpegang teguh pada ajaran agama dengan tidak memandang sebelah mata pada siapa pun adalah teori kehidupannya. Membaca sampai larut malam, nonton bola dan tinju hingga nonton film koboi, dan menikmati getuk lindri adalah hobinya. Apa pun yang kami tanyakan tak pernah tak terjawabklan. Di sela kesibukannya sebagai Pegawai Negeri Sipil (Perumka), beliau selalu menyempatkan diri mengajarkan kami beragam hal.
Banjar, di rumah cinta kami yang sederhana dengan taman bunganya, dengan kolam ikannya, adalah saksi bisu atas cinta kasih dan kehangatan yang telah kami terima dari belaian seorang lelaki yang tak pernah lelah berusaha memberikan yang terbaik bagi kami yang ditinggalkan.
Ya…Allah, tanpa terasa lama sudah kami ditinggalkan.
Menjelang malam, 22.47 hari Sabtu tanggal 19 Desember 2005 lelaki yang paling kami cintai menghembuskan nafasnya terakhir. Dengan iringan doa dari kami, beliau pergi dalam tenang. Senyum tersungging di bibirnya.
YA…Allah, ada tangis saat itu. Ada duka yang mendalam saat melepas kepergiannya. Ya, Engkau telah mengambilnya kembali. Kami ikhlas, seikhlas beliau memberikan kasih sayang dan cintany pada kami. Kami ikhlas seikhlas beliau menerima penyakit yang telah dideritanya selama beberapa tahun.
Ya…Allah, tak ada kata yang bisa kami ucapkan, hanya doa yang kami panjatkan atas kepergiannya. Tuhan telah memberikan yang terbaik untuk setiap umatnya. Begitu pula untuk bapak kami tercinta, yang kini telah terbebas dari derita diabetesnya.
Di tanah kelahirannya, di bawah langit biru dengan desah-desah dedaunan yang tertiup angin, di tepian sungai, di sanalah kini bapak kami tercinta “tertidur untuk selamanya.”
Saat beliau dikebumikan seolah alam memberikan keteduhan kepada kami yang mengantarnya. Hujan deras yang turun seketika reda.
Terimakasih ya Allah telah Engkau berikan lelaki terbaik bagi kami.
Terimakasih ya Allah!
Meski kepergiannya adalah kedukaan
Tapi kebahagiaan yang tak ternilai bagi kami telah kami miliki.
Ya…bapak kami adalah seorang lelaki yang tabah dan kuat dalam mengarungi hidup.
Kini semua tinggal kenangan. Rumah tua tempat kami menerima kehangatan cinta itu menjadi legenda dan bukti akan kekuatan cinta yang telah beliau berikan.
Selamat jalan Bapak! Ada doa dari kami!
Semoga Allah mengampuni segala dosanya.
Semoga diterima segala amal ibadahnya.
Amin…Amin….Amin..